MENGGUGAT PERCERAIAN: KEKERASAN GENDER DALAM PRAKTEK PAULAKHON PADA MASYARAKAT BATAK TOBA
https://doi.org/10.23960/sosiologi.v23i2.111
Keywords:
Adat Batak, Pernikahan, Perceraian, Kekerasan, GenderAbstract
Dalam budaya Batak yang patrilineal laki-laki memiliki status yang lebih tinggi dibandingkan perempuan. Kepemilikian anak laki merupakan salah satu hal yang amat penting untuk melangsungkan kelanjutan eksistensi marga. Perempuan dalam sebuah pernikahan tidak dapat dilepaskan dari peran reproduksi untuk menjamin ketersediaan laki-laki dalam garis keturunan masyarakat Batak, itu menjadikan perempuan sering berada dalam ketegangan pada sebuah ikatan pernikahan dan menjadi beban tersendiri. Fenomena paulakhon menjadi salah satu praktek perceraian yang terdapat pada masyarakat Batak manakala perempuan dinilai gagal melakukan perannya dalam reproduksi anak laki-laki.
In the patrilineal Batak culture, men have a higher status than women. The ownership of a son is one of the most important things for the continuation of the clan existence. Women in a marriage cannot be separated from their reproductive roles to ensure the availability of men in the lineage of Batak society, this makes women often under tension in a marriage bond and become a burden in themselves. The paulakhon phenomenon is one of the divorce practices found in Batak society when women are considered to have failed to carry out their role in the reproduction of a son.
